Jumat, 13 November 2009

Mahallul Qiyam, Menghadirkan Nabi dalam Doa

Pada saat membaca doa tahiyat akhir dalam setiap shalat, kita selalu mengucapkan:

اَلسَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ

“assalamualika ayyuhan nabiy”, salam kepada Engkau wahai Nabi

Silakan diperhatikan redaksinya, pada saat menyebut Nabi dalam shalat kita diharuskan memakai kata ganti كَ atau kata ganti orang kedua atau dlamir mukhatab, yang berarti kamu atau anda. Kita tidak menyebut nabi dengan dlamir ghaib هُ atau dia, atau beliau. Kita menyebut Nabi dengan engkau. Ini artinya bahwa pada saat kita berdoa seakan-akan Nabi Muhammad SAW hadir di hadapan kita.

Kita bisa menyimpulkan bahwa doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT dalam tahiyat akhir itu tidak akan diterima tanpa menyebut Nama Muhammad SAW, tanpa menghadirkan beliau.

Maka pada setiap doa, setelah kita berucap ”Alhamdulillah” segala puji bagi Allah, kita teruskan dengan membaca berbagai shalawat. Baru setelah itu kita sampai pada inti dari doa kita. Ini artinya saat berdoa, saat menyembah Allah harus ada makhluk Allah bernama Muhammad SAW. Kita membutuhkan Nabi Muhammad SAW saat berdoa kehadirat Allah SWT.

Begitu pentingnya kehadiran Nabi Muhammad SAW dalam setiap doa. Kita ambil contoh lagi, dalam tradisi warga pesantren, saat kita mengadakan ritual aqiqah atau acara syukuran untuk bayi yang baru dilahirkan. Keluarga bayi yang menyelenggarakan aqiqah tidak akan mengeluarkan bayi sebelum sampai pada momen mahallul qiyam, pada saat-saat kita berdiri membaca:

يَا نَبِي سَلَامْ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلْ سَلَامْ عَلَيْكَ

Silakan diperhatikan, dalam kalimat yang kita baca ”Wahai Nabi salam kepadamu, Wahai Rasul salam kepadamu”; seakan-akan Nabi hadir pada saat itu. Inilah urgensi dari ajaran tawashul kepada Nabi, atau memanjatkan doa dengan perantaraan Rasulullah SAW.

Mencium Tangan Ulama dan Guru

Mencium tangan para ulama merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan agama. Karena perbuatan itu merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada mereka. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

عَنْ زَارِعٍ وَكَانَ فِيْ وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِيْنَةَ فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَهُ – رَوَاهُ أبُوْ دَاوُد

Dari Zari ketika beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdil Qais, beliau berkata, Ketika sampai di Madinah kami bersegera turun dari kendaraan kita, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi SAW. (HR Abu Dawud)

Atas dasar hadits ini, para ulama mensunnahkan mencium tangan guru, ulama, orang shalih serta orang-orang yang kita hormati. Kata Imam Nawawi dalam salah satu kitab karangannya menjelaskan bahwa mencium tangan orang shalih dan ulama yang utama itu disunnahkan. Sedangkan mencium tangan selain orang-orang itu hukumnya makruh. (Fatawi al-Imam an-Nawawi, Hal 79).

Dr. Ahmad as-Syarbashi dalam ktab Yas’alunakan fid Din wal Hayah memberikan kesimpulan akhir, bahwa apabila mengecup tangan itu dimaksudkan dengabn tujuan yang baik, maka (perbuatan itu) menjadi baik.

Inilah hukum asal dalam masalah ini. Namun jika perbuatan itu digunakan untuk kepentingan dan tujuan yang jelek, maka termasuk perbuatan yang terhina. Sebagimana perbuatan baik yang diselewengkan untuk kepentingan yang tidak dibenarkan. (Yas’alunakan fid Din wal Hayah, juz II, hal 642).

Mengusap Wajah Setelah Shalat

Salah satu kebiasaan yang sering kita lihat, setiap selesai mengucapkan salam dalam shalat, umat Islam mengusap wajah dengan kanannya. Hal ini didasarkan satu riwayat bahwa setelah bahwa Rasulullah SAW selalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.

عَنِ السَّائِبِ بْنِ يِزِيْدِ عَنْ أَبِيْهِ أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ -- سنن أبي داود

Dari Saib bin Yazid dari ayahnya, “Apabila Rasulullah SAW berdoa, beliau beliau selallu mengangkat kedua tangannya, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya." (HR Abu Dawud, 1275)

Begitu pula orang yang telah selesai melaksanakan shalat, ia juga disunnahkan mengusap wajah dengan kedua tangannya, sebab shalat secara bahasa berarti berdoa. Di dalam shalat terkandung doa-doa kepada Allah SWT Sang Khaliq. Sehingga orang yang mengerjakan shalat berarti juga sedang berdoa. Maka wajar jika setelah shalat ia juga disunnahkan untuk mengusap muka.

Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha dalam kitab I’anatut Thalibin menyatakan: Imam Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar, dan kami juga meriwayatkan hadits dalam kitab Ibnus Sunni dari Sahabat Anas bahwa Rasulullah SAW apabila selesai melaksanakan shalat, beliau mengusap wajahnya dengan tangan kanannya. Lalu berdoa:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إلهَ إلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ اَللَّهُمَّ اذْهَبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ

“Saya bersaksi tiada Tuhan kecuali Dia Dzat Yang maha Pengasih dan penyayang. Ya Allah Hilangkan dariku kebingungan dan kesusahan." (I’anatut Thalibin, juz I, hal 184-185)

Hal ini menjadi bukti bahwa mengusap muka setelah shalat memang dianjurkan dalam Islam. Karena Nabi Muhammad SAW juga mengusap muka setelah shalat.

Bersegera Mengganti Puasa Yang Ditinggalkan

Qadha' atau mengganti puasa Ramadhan, wajib dilaksanakan sebanyak hari yang telah ditinggalkan, sebagaimana termaktub dalam Al-Baqarah ayat 184:

أَيَّاماً مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain.

Ada dua pendapat mengenai wajib tidaknya qadha puasa dilakukan secara berurutan sebanyak hari yang ditinggalkan. Pertama, menyatakan jika hari puasa yang di­tinggalkannya berurutan, maka qadha' harus dilaksanakan secara berurutan pula, lantaran qadha' merupakan pengganti puasa yang telah ditinggalkan, sehingga wajib dilakukan secara sepadan.

Pendapat kedua, menyatakan bahwa pelaksanaan qadha' puasa tidak harus dilakukan secara berurutan, lantaran tidak ada satu­pun dalil yang menyatakan qadha' puasa harus berurutan. Sementara Al-Baqarah ayat 184 hanya menegaskan bahwa qadha' puasa, wajib dilaksanakan sebanyak jumlah hari yang telah ditinggalkan, itu saja.

Pendapat kedua ini didukung oleh pernyataan dari sebuah hadits yang sharih (jelas dan tegas).

Sabda Rasulullah SAW:

قَضَاءُ رَمَضَانَ إنْ شَاءَ فَرَّقَ وَإنْ شَاءَ تَابَعَ

"Qadha' (puasa) Ramadhan itu, jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya terpisah. Dan jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya berurutan. " (HR. Daruquthni, dari Ibnu 'Umar)

Dari kedua pendapat tersebut di atas, kami lebih cendong kepada pendapat terakhir, lantaran didukung oleh hadits yang sharih. Dengan demikian, qadha' puasa tidak wajib dilakukan secara berurutan. Namun dapat dilakukan dengan leluasa, kapan saja dikehendaki. Boleh secara berurutan, boleh juga secara terpisah.

Jika jumlah hari yang harus qadha' puasa itu tidak diketahui lagi, misalnya lantaran sudah terlalu lama, atau memang,sulit diketahui jumlah harinya, maka alangkah bijak jika kita tentukan saja jumlah hari yang paling maksimum. Lantaran kelebihan hari qadha' puasa adalah lebih baik ketimbang kurang. Dimana kelebihan hari qadha' tersebut akan menjadi ibadah sunnat yang tentunya memiliki nilai tersendiri.

Waktu Qadla

Waktu dan kesempatan untuk melaksanakan qadha' puasa Ramadhan sangat panjang yakni sampai bulan Ramadhan berikutnya. Sebaiknya qadla puasa dilaksanakan dengan segera karena tidak mustahil jika ada orang-orang –dengan alasan tertentu– belum juga melaksanakan qadha' puasa Ramadhan, sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya.

Kejadian seperti ini, dapat disebabkan oleh berbagai hal, baik yang positif maupun negatif seperti; selalu ada halangan, sering sakit misalnya, bersikap apatis, bersikap gegabah, sengaja mengabaikannya dan lain sebagainya. Sehingga pelaksanaan qadha' puasanya ditangguhkan atau tertunda sampai tiba Ramadhan benkutnya.

Penangguhan atau penundaan pelaksanaan qadha' puasa Ra­madhan sampai tiba Ramadhan berikutnya –tanpa halangan yang sah–, maka hukumnya haram dan berdosa. Sedangkan jika penangguhan tersebut diakibatkan lantaran udzur yang selalu menghalanginya, maka tidaklah berdosa.

Adapun orang yang meninggal dunia sebelum memenuhi kewajiban qadha' puasa Ramadhan, sama artinya dengan mempunyai tunggakan hutang kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, pihak keluarga wajib memenuhinya.

Hutang puasa Ramadhan tersebut bagi orang yang meninggaldapat diganti dengan fidyah, yaitu memberi makan sebesar 0,6 kg bahan makanan pokok kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari puasa yang telah ditinggalkannya.

Sabda Rasulullah SAW:

مَن مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيُامْ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ يَوْمٍ مِسْكِيْنٌ

"Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban puasa, maka dapat digantikan dengan memberi makan kepada seorang miskin pada tiap hari yang ditinggalkannya." (HR Tirmidzi, dari Ibnu 'Umar)

Ada juga pendapat kedua yang menyatakan bahwa; jika orang yang memiliki kewajiban qadha' puasa meninggal dunia, maka pihak keluarganya wajib melaksanakan qadha' puasa tersebut, sebagai gantinya. Dan tidak boleh dengan fidyah. Sedangkan dalam prakteknya, pelaksanaan qadha' puasa tersebut, boleh dilakukan oleh orang lain, dengan seizin atau atas perintah keluarganya.

Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

"Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban qadha puasa, maka walinya (keluarganya) berpuasa menggantikannya." (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah)

Pendapat kedua ini, kami kira lebih kuat lantaran hadits yang mendasarinya shahih. Sementara pendapat pertama dinilai lemah karena hadits yang mendasarinya marfu', gharib atau mauquf, dan tidak bisa dijadikan lancasan hukum.

Mengangkat Jari Telunjuk Tanpa Digerak-gerakkan

Dalam Shalat, ketika kita duduk tasyahud, tepatnya ketika kita membaca “illallah” atau selain Allah, dalam rangkaian bacaan “Asyhadu an la ilaha illallah” atau saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, kita selalu mengangkat jari telunjuk. Adakah dasar hukumnya? Hikmah apa yang dikandung?

Ulama Syafi’iyyah mengajarkan untuk meletakkan kedua tangan di atas paha ketika sedang duduk tasyahud. Sementara jari-jari tangan kanan digenggam, kecuali jari telunjuk. Nah ketika membaca “illallah” jari telunjuk tersebut sunnah diangkat, tanpa digerak-gerakkan.

Dalam sebuah hadits Muslim dari Ali bin Abdirrahman al-Muawi dikisahkan bahwa pada suatu saat Ibnu Umar melihat Ali bin Abdirrahman sedang mempermainkan krikil ketika shalat. Setelah selesai shalat Ibnu Umar menegur Ali lalu berkata, “Apabila kamu shalat maka kerjakan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW."

Ibnu Umar lalu berkata:

كان إذا جلس في الصلاة وضع كفه اليمنى على فخذه اليمنى وقبض أصابعه كلها وأشار بأصبعه التي تلى الإبهام ووضع كفه اليسرى على فخذه اليسرى

“Apabila Nabi SAW duduk ketika melaksanakan shalat, beliau meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanannya dan menggenggam semua jemarinya. Kemudian berisyarah dengan (mengangkat) jari telunjuknya (ketika mengucapkan illallah) dan meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya." (HR Muslim)

Hadits ini yang dijadikan dasar para ulama tentang kesunnahan mengangkat jari telunjuk ketika tasyahud atau tahiyat.

Sedangkan hikmah dari anjuran tersebut adalah supaya kita mengesakan Allah SWT. Seluruh anggota tubuh kita mentauhidkan-Nya dengan dipandu jari telunjuk itu.

Syekh Ibnu Rulan dalam kitab Zubad-nya mendendangkan syair: "Ketika mengucapkan illallahu, maka angkatlah jari telunjukmu untuk mengesakan Dzat yang engkau sembah." (Matn Zubad, 24).

Jadi mengangkat jari telunjuk ketika tasyahud (tanpa digerak-gerakkan) itu disunnahkan karena merupakan teladan dari nabi SAW. Perbuatan itu dimaksudkan sebagai simbol serta sarana untuk mentauhidkan Allah SWT..

Dzikir Berjamaah Dengan Suara Keras

Berkumpul di suatu tempat untuk berdzikir bersama hukumnya adalah sunnah dan merupakan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hadits-hadits yang menunjukkan kesunnahan perkara ini banyak sekali, diantaranya.
مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوْا يَذْكُرُوْنَ اللهَ لَا يُرِيْدُوْنَ بِذَالِكَ إلَّا وَجْهَهُ تَعَالَى إلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ قُوْمُوْأ مَغْفُوْرًا لَكُمْ –أخرجه الطبراني

Tidaklah suatu kaum berkumpul untuk berdzikir dan tidak mengharap kecuali ridla Allah kecuali malaikat akan menyeru dari langit: Berdirilah kalian dalam keadaan terampuni dosa-dosa kalian. (HR Ath-Thabrani)

Sedangkan dalil yang menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara umum di antaranya adaah hadits qudsi berikut ini. Rasulullah SAW bersabda:
يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَناَ عِنْدَ ظَنِّي عّبْدِي بِي وَأنَا مَعَهُ عِنْدَ ذَكَرَنِي، فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرًا مِنْهُ –منقق عليه

Allah Ta’ala berfirman: Aku kuasa untuk berbuat seperti harapan hambaku terhadapku, dan aku senantiasa menjaganya dan memberinya taufiq serta pertolongan kepadanya jika ia menyebut namaku. Jika ia menyebut namaku dengan lirih Aku akan memberinya pahala dan rahmat dengan sembunyi-sembunyi, dan jika ia menyebutku secara berjamaah atau dengan suara keras maka aku akan menyebutnya di kalangan malaikat yang mulia. (HR Bukhari-Muslim)

Dzikir secara berjamaah juga sangat baik dilakukan setelah shalat. Para ulama menyepakati kesunnahan amalan ini. At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW ditanya:
أَيُّ دُعَاءٍ أَسْمَعُ؟

“Apakah Doa yang paling dikabulkan?”

Rasulullah menjawab:
جَوْفُ اللَّيْلِ وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ – قال الترمذي: حديث حسن

“Doa di tengah malam, dan seusai shalat fardlu." (At-Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan.

Dalil-dalil berikut ini menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara berjamaah setelah shalat secara khusus, di antaranya hadits Ibnu Abbas berkata:
كُنْتُ أَعْرِفُ إنْقِضَاءِ صَلَاةِ رَسُوْلِ اللهِ بِالتَّكْبِيْرِ – رواه البخاري ومسلم

Aku mengetahui selesainya shalat Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)”. (HR Bukhari Muslim)
أَنَّ رَفْعَ الصّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ – رواه البخاري ومسلم

Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika jamaah selesai shalat fardlu terjadi pada zaman Rasulullah. (HR Bukhari-Muslim)

Dalam sebuah riwayat al-Bukhari dan Muslim juga, Ibnu Abbas mengatakan:
كنت أعلم إذا انصرفوا بذالك إذا سمعته – رواه البخاري ومسلم

Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai shalat dengan mendengar suara berdikir yang keras itu. (HR Bukhari Muslim)

Hadits-hadits ini adalah dalil diperbolehkannya berdzikir dengan suara yang keras, tetapi tentunya tanpa berlebih-lebihan dalam mengeraskannya.