Jumat, 20 April 2012

Di Matteo Fantastis Ala Mourinho

FOKUS: Taktik, Teknik Hingga Gaya Berpakaian, Roberto Di Matteo Mengikuti Jejak Jose Mourinho Oliver Platt dari GOAL.com UK mengulas soal gaya Jose Mourinho saat sukses di Stamford Bridge yang sepertinya menjadi referensi Roberto Di Matteo. Jose Mourinho meraih enam piala di tiga musim untuk menjadi manajer tersukses di sejarah Chelsea, tetapi satu-satunya peninggalan negatif adalah tingginya harapan terhadap semua manajer penerusnya. Hanya Carlo Ancelotti yang kemudian berhasil merengkuh satu dari dua piala, Liga Primer Inggris dan Liga Champions, yang menjadi idaman pemilik Roman Abramovich, namun menurunnya prestasi di musim keduanya membuat mantan bos AC Milan itu ditendang. Pelatih asal Italia lain Roberto Di Matteo secara tak terduga telah terbukti menjadi arsitek kesuksesan the Blues di Eropa musim ini, dan mungkin saja bisa berakhir dengan kejayaan di kompetisi yang diyakini akan ditaklukkan Mourinho jika diberikan kesempatan satu musim lagi di London. Tim asuhan Di Matteo itu kini tetap membuka peluang lolos ke final di Allianz Arena setelah menang atas tim tamu Barcelona 1-0 di leg pertama. Jika pendahulunya Andre Villas-Boas berusaha memberikan gaya tersendiri di Chelsea, Di Matteo justru merujuk pada rezim Mourinho untuk membawa Chelsea melesat di akhir musim, yang tampak mustahil beberapa pekan lalu. Ambisi Di Matteo akan melampaui apa yang telah ia raih dalam karier manajernya yang berusia kurang dari empat tahun, tetapi pertandingan lawan Barcelona Rabu lalu menggambarkan apa yang telah bisa dianggap sebagai kebangkitan luar biasa ke tingkat tertinggi. Pelatih asal Italia itu mungkin masih jauh untuk dibandingkan dengan pelatih sekaliber Pep Guardiola sebagai salah satu pelatih elit Eropa, tetapi ia tak terlihat aneh di bangku cadangan Stamford Bridge saat beradu strategi dengan arsitek Barcelona itu. Saat mengasah kemampuannya di Divisi Dua bersama MK Dons, Di Matteo menjadi bagian dari periode di mana Mourinho menjadi inspirasi perubahan cara berpakaian manajer di bangku cadangan. Kebanyakan bos tim di kasta ketiga sepakbola Inggris itu memilih untuk tampil dengan jaket dan celana olahraga, tetapi penampilan modern Di Matteo menarik perhatian West Brom, yang kemudian dibawanya ke Liga Primer Inggris dalam usaha pertamanya. "Ia keren," aku gelandang the Baggies Steven Reid. "Ia cocok di pinggir lapangan juga. Ia keren, tenang, dan mencolok. Orang-orang Italia punya gaya dan ia membawa itu ke kamar ganti." Kita mungkin tak akan mendengar Di Matteo menganggap dirinya 'the Special One' dalam waktu dekat, dan sulit juga untuk berharap manajer berusia 41 tahun itu menggunakan perumpamaan tentang perbedaan kualitas telur dalam konferensi pers-nya. Tetapi, jika isi pernyataan Di Matteo mungkin berbeda dengan Mourinho, gaya penyampaiannya punya banyak kemiripan dengan gaya pelatih asal Portugal itu. Baik Di Matteo maupun Mourinho menguasai Bahasa Inggris dengan baik, tetapi memilih untuk tidak memanfaatkan itu. Mereka bicara singkat, jelas, dan percaya diri dalam menjawab pertanyaan dalam situasi yang terkadang panas dan emosional sesaat setelah pertandingan berakhir. Di Matteo mengakui ia tak mengambil kursi panas Stamford Bridge dengan pengalaman dan reputasi seperti Mourinho, Ancelotti, Guus Hiddink, atau Luiz Felipe Scolari, dan dengan demikian memilih untuk bergaya lebih sederhana. Ia menolak untuk merasa kemenangan atas Barcelona adalah kesuksesan baginya, tetapi justru memberikan pujian bagi para pemain veteran dan juga para pendatang baru seperti Gary Cahill. Loyalitas kedua pihak terhadap Di Matteo pun dipastikan bertambah. Villas-Boas menggunakan formasi 4-3-3 milik Mourinho di Porto, dan tentu saja terlihat sempurna untuk memimpin Chelsea di awal musim. Namun, formasi tak ada artinya jika gaya bermain secara umum dan tugas masing-masing individu tak diikuti. Dalam usaha untuk membangun tim Chelsea baru yang sanggup mencapai prestasi yang diraih Mourinho, Villas-Boas berusaha menekankan penguasaan bola dan lini pertahanan agresif yang tak mampu diadaptasi oleh tim yang sebagian besar dibangun Mourinho. Di Matteo pun mengembalikan gaya permainan menjadi lebih terfokus seperti Mourinho, serangan balik, dan meskipun Chelsea cukup beruntung tak kebobolan lawan Barcelona, gol Chelsea seperti mengikuti buku panduan serangan balik. Didier Drogba, yang diandalkan Di Matteo pada partai-partai penting, menemukan kembali bentuk permainan terbaiknya sementara pertahanan Chelsea lebih kuat dengan berposisi lebih ke dalam. "Mereka telah kembali ke tipe Chelsea yang dulu lebih sukses," pikir gelandang Barcelona Cesc Fabregas. "Mengandalkan serangan balik, berusaha mencari target man, bertahan dan menggunakan pemain berposisi sembilan sebagai rujukan. Mereka tim yang sangat, sangat berbahaya," ulasnya lagi. Meskipun Ramires dan Gary Cahill tampil cemerlang, tetapi kontribusi pemain-pemain senior Chelsea tak perlu diragukan lagi. John Terry dan Ashley Cole tampil cemerlang dalam menahan Barcelona, sementara Frank Lampard beroperasi sebagai gelandang bertahan tanpa terlihat frustrasi dan kehilangan konsentrasi seperti yang terkadang ia tunjukkan di bawah asuhan Villas-Boas. Drogba, meskipun ia menghabiskan banyak waktu berbaring di lapangan tanpa alasan jelas, bangkit pada saat yang tepat untuk mencetak gol penentu kemenangan, dan bekerja keras sepanjang pertandingan untuk memimpin lini depan. Penampilan Michael Ballack dulu tak selalu di level tertinggi, tetapi Mourinho menghargai nilai pengalamannya saat melawan tim terbaik di Liga Champions. Di Matteo, yang tampil di kompetisi tertinggi Eropa untuk pertama kali dalam karier manajernya, secara serupa memaksimalkan pengetahuan dan pengalaman para pemain veteran. Dua manajer berbeda, dua kemenangan yang tak terduga di babak 16 besar Liga Champions. Mourinho merayakan gol penentu kemenangan Costinha dengan berlari hampir sepanjang garis pinggir lapangan Old Trafford saat membawa Porto lolos ke perempat-final Liga Champions 2004 dengan mengorbankan Manchester United. Di Matteo sanggup menahan emosinya hingga peluit akhir sebelum masuk ke lapangan untuk memberi selamat timnya dengan melompat ke pelukan mereka saat menang 4-1 di leg kedua lawan Napoli. Fernando Torres telah bermain sebagai pemain pengganti sekitar satu jam ketika Di Matteo secara mengejutkan melompat untuk memeluknya, sebelum beralih ke Lampard yang lebih siap menerima pelukan. Kelakuan Mourinho di pinggir lapangan terkadang membuatnya beradu dengan otoritas sepakbola, namun semangatnya membuat banyak fans jatuh hati. Sulit untuk tidak tersenyum saat mantan pujaan di lini tengah Chelsea itu bergaya seperti pendahulunya setelah meraih hasil akhir yang mengawali kelahiran kembali harapan Chelsea meraih piala di musim ini.